Rektor Universitas Katolik Widya Mandira, P. Dr. Philipus Tule, SVD; menyampaikan sebuah kebenaran sejarah yang cukup mengejutkan tentang sejarah dunia perfilman di NTT dan Indonesia. Pakar Islamologi ini menguak sejarah baru yang cukup berbeda bahwa, jika melihat runutan tahun pembuatan film, maka sesungguhnya film pertama yang diproduksi di Indonesia adalah film asal NTT. Tepatnya adalah film Etnografi dengan judul: “Ria Rago: De Heldin Dan Het Ndona-Dal.” Yang jika diterjemahkan akan berjudul, “Ria Rago: Pahlawan Wanita dari Lembah Ndona.”
Hal ini disampaikan Dr. Philipus Tule, SVD, saat membuka acara Kegiatan Sosialisasi Budaya Sensor Mandiri, di Provinsi NTT yang bertempat di Hotel Sotis Kupang, Selasa, 19 Oktober 2021. Acara yang diinisiasi oleh Komisi III DPR RI, dan Lembaga Sensor Film Indonesia ini, sekaligus juga untuk penandatanganan MOU antara Unwira dan LSF Nasional. Unwira diwakili oleh Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi, Yosep Andreas Gual, MA.

Menurut rilis yang disampaikan Dosen FISIP Unwira, Mikhael Rajamuda Bataona, Rektor Unwira menjelaskan bahwa, jika dicek berdasarkan waktu produksinya, maka Film Ria Rago dibuat pada tahun 1923, atau lebih tua dari waktu pembuatan film pertama di Indonesia. Di mana, Film Ria Rago dibuat oleh dua misionaris SVD di Flores pada tahun 1923. Artinya, jika dilacak berdasarkan sejarah waktu pembuatan maka meskipun Film pertama yang diproduksi pertama kali di Indonesia adalah film bisu yang berjudul Loetoeng Kasaroeng, yaitu film garapan sutradara Belanda, G. Kruger dan L. Heuveldorp pada tahun 1926. Tetapi sesungguhnya, ada film lainnya yang juga diproduksi di Indonesia dan lebih tua dari film tersebut yaitu film yang dibuat oleh dua misionaris SVD di Flores, yaitu Film Ria Rago. Mengapa? Karena menurut Rektor yang baru saja dilantik untuk memimpin Unwira di periode kedua kepemimpinannya ini, berdasarkan dokumen SVD (Societas Verbi Divini) yang tersimpan di Generalat SVD (Roma), pada masa itu, misi Flores memiliki dua orang pastor yang ahli dalam pembuatan film. Dua misionaris ini pernah dikirim untuk belajar tentang perfilman di Holywood, USA, atas perintah Uskup Flores masa itu. Kedua pastor ini adalah Pater Simon Buis, SVD dan Pater Belthens, SVD. Saat kembali dari Amerika itulah, mereka berdua kemudian menjadi sutradara sekaligus produser film Ria Rago, yang tepatnya diproduksi tahun 1923.

“Sesungguhnya film perdana dari NTT dan bahkan Indonesia adalah film bisu karya misionaris Serikat Sabda Allah (SVD) dari Flores yang berjudul Ria Rago: De Heldin Dan Het Ndona-Dal (Ria Rago: Pahlawan Wanita dari Lembah Ndona). Dalam film etnografis yg berdurasi 110 menit itu tercantum tulisan berbahasa Belanda “plaats en tijde van het werkelijk gebeurde” dengan tempat dan waktu yang benar terjadi pada 1923. Namun, film itu baru dirilis produksinya tahun 1930, sesuai tanggal lulus sensor di negeri Belanda,” kata Dr. Philipus Tule.
Menurutnya, film tersebut adalah sebuah film yang unik dan mempunyai makna yang sangat mendalam secara etnografis. Karena Film Ria Rago ini, berkisah tentang kasus kawin paksa seorang gadis Katolik bernama Ria Rago dari desa Nua Nellu (Ndona) dengan seorang pemuda bernama Dapo Doki, seorang Muslim dari desa Rada Wuwu, yang telah beristeri.
Menurut Dr. Philipus, dikisahkan dalam film tersebut bahwa, Ria menolak pernikahan itu dan mengadu pada pastor setempat yang kemudian bersama katekis mengunjungi dan berdiskusi dengan ayah Ria, namun sia-sia. Setelah mahar atau belis yang tinggi disepakati, Rago Da’u dan istrinya tetap memaksa. Dengan menggenggam salib yang dikirim Pastor, Ria berhasil memutuskan tali pengikat tangannya saat keluarganya sedang berpesta merayakan lamaran Dapo Doki itu. Ria lantas berlari ke Susteran, yang berfungsi ganda sebagai asrama putri dan poliklinik kesehatan dengan kondisi tubuh yang lemah. Rago mengembalikan mahar ke Dapo dan menemui pastor yang menganjurkan agar dia minta maaf pada Ria. Ria memaafkan ayah dan ibunya, lalu meninggal dunia. Jika dimaknai, sebut Dr. Philipus, di satu sisi, film produk tahun 1923 ini mengungkapkan supremasi moralitas perkawinan Katolik dan serentak menilai negatif praktek kawin paksa dalam budaya tradisional pra-Katolikisme. Namun di sisi lain, film ini pula mengandung warta edukatif yang mulia, yang memperjuangkan emansipasi kaum wanita, membasmi budaya kawin paksa, menjunjung tinggi kesamaan harkat dan martabat manusia.
“Film adalah karya seni budaya dan media komunikasi massa yang dirpoduksi berdasarkan kaidah sinematografi, serta memiliki nilai strategis sebagai wahana untuk mempromosikan identitas sosial, politik, budaya dan agama serta meningkatkan ketahanan bangsa dan kesejahteraan masyarakat lahir batin, serta pembinaan akhlak mulia,” jelas Dr. Philipus Tule, SVD dan menambahkan, Kerjasama dan penandatanganan MOU antara LSF RI bersama UNWIRA pada hari ini (19 Oktober 2021) membangkitkan nostalgianya pada kerjasama antara LSF RI dengan STFK Ledalero dan Pemerintah Kabupaten Sikka, pada tgl 6 Juni 2016 (5 thn silam), di mana dirinya saat itu menjadi narasumber yang membawakan makalah dengan judul “ANTROPOLOGI VISUAL DAN MASYARAKAT SENSOR MANDIRI.”
Untuk itu Dr. Philipus menegaskan,
Pada hari ini, sudah selayaknya semua yang hadir mau bernostalgia lagi tentang sejarah perfilman Indonesia. Di mana, Hari Film Nasional Indonesia yang ke-71 telah diperingati oleh insan perfilman Indonesia pada tanggal 30 Maret tahun 2021 yang lalu. Karena tgl 30 Maret 1950 merupakan hari pertama pengambilan gambar film Darah & Doa atau Long March of Siliwangi yang disutradarai oleh Usmar Ismail. Kendati peringatan Hari Film Nasional ini baru dirayakan sejak tahun 1950, sesungguhnya tonggak sejarah perfilman Indonesia telah berawal dengan film bisu berjudul Loetoeng Kasaroeng sebagai film pertama yang diproduksi di Indonesia dan dirilis pada tahun 1926 oleh NV Java Film Company.
Demi memperkaya khasanah data historis perfilman Indonesia, patut di-expose sebuah film etnografis dari konteks masyarakat NTT.
Di akhir pemaparannya, Pater Dr. Philipus Tule, SVD mengingatkan bahwa, meski ada banyak nilai positip dari kemajuan teknologi pembuatan film dan produksinya, tetapi dengan pesatnya kemajuan teknologi, produksi dan distribusi film, juga produk visual dan media pertunjukan dewasa ini memang menjadi semakin banyak dan murah, cepat dan mudah diakses oleh semua lapisan masyarakat. Teritama di era milenial saat ini dengan kecanggihan media informasi dan teknologi seperti email, youtube, instagram. Tetapi semuanya itu harus tetap diwaspadai dan membutuhkan literasi serta daya kritis pengguna, sebab dapat membahayakan etika dan moralitas generasi muda dan anak-anak dibawah umur.
Oleh karena itu, Dr. Philipus meminta agar, kendati bertanggung jawab memajukan industri dan produk perfilman nasional (baik di pusat maupun daerah), negara tetap terpanggil untuk melindungi masyarakatnya, khusus generasi muda dan anak-anak dari berbagai dampak negatif perfilman. Untuk itu Dr. Philipus berharap, ke depannya, Lembaga Sensor Film Republik Indonesia bersama UNWIRA dapat melakukan penyadaran nilai-nilai sosial, politik, etika budaya dan religius melalui produksi dan penayangan film dengan keterlibatan keluarga, tokoh adat dan tokoh agama, lembaga-lembaga agama serta lembaga pendidikan. Sehingga, sebagai rektor Unwira, dirinya sangat mendukung kegiatan LSF ini. “Sebagai lembaga Perguruan Tinggi Swasta (Unika Widya Mandira) tentu mendukung program dan kegiatan pemerintah (c.q. LSF Nasional) dalam Kegiatan Sosialisasi Budaya Sensor Mandiri di Prov NTT melalui seminar luring ini. Kiranya berbagai masukan ilmiah/akademis dari seminar ini dapat memberikan sejumlah rekomendasi baik,” tutup Pater Philipus Tule, SVD. (*Tim/Akt)